Kronologi Insiden di Cidahu
Insiden bermula saat sekelompok pelajar Kristen dari Jakarta mengadakan retret di sebuah villa di Cidahu, Sukabumi, pada akhir Juni 2025. Kegiatan berlangsung tertib dan sudah mendapatkan izin pemilik villa. Namun, warga sekitar merasa curiga dengan kegiatan tersebut yang dianggap sebagai ibadah massal di luar tempat ibadah resmi.
Kecurigaan warga memuncak dan berujung pada aksi pembubaran oleh sekelompok orang. Dalam video yang viral, tampak warga datang beramai-ramai dan memaksa kegiatan dihentikan. Sejumlah fasilitas di dalam dan sekitar villa juga dilaporkan mengalami kerusakan.
Kapolres Sukabumi AKBP Tony Prasetyo membenarkan kejadian tersebut dan menyatakan bahwa pihaknya tengah menyelidiki insiden. “Kami sudah menurunkan tim ke lapangan dan melakukan pemeriksaan terhadap beberapa saksi,” kata Tony (CNN Indonesia).
Amarah dan Narasi Warga Dalam Video Tiktok
Dalam video pertama berdurasi lebih dari dua menit, terlihat seorang pria berapi-api menyampaikan alasan pembubaran kegiatan. Ia menyebut bahwa kegiatan ibadah tak boleh dilakukan sembarangan dan menuding ada “penyimpangan” izin pemanfaatan villa. Ia juga memprovokasi warga lain untuk bersatu agar “daerah tidak dikuasai oleh agenda terselubung”.
Video ini memicu kecaman luas di media sosial karena dinilai menyebarkan intoleransi dan kekerasan massa terhadap kelompok minoritas. Komentar-komentar yang mendukung kebebasan beragama pun membanjiri unggahan ulang video tersebut di berbagai platform.
KDM Respons Kritis dan Beri Bantuan Konkret
Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi, muncul dalam video kedua yang juga viral di TikTok. Dalam video itu, ia menanggapi dengan tegas peristiwa di Cidahu. Dedi menyayangkan tindakan anarkis warga dan menegaskan bahwa rumah pribadi bukanlah rumah ibadah, sehingga tidak bisa dijadikan alasan pembubaran.
“Kalau pun ada ibadah, di rumah sekalipun, itu tidak melanggar hukum. Kita harus dewasa dalam hidup beragama,” kata Dedi dengan nada tenang tapi tegas. Ia juga meninjau langsung lokasi, berdialog dengan warga dan pemilik rumah.
Tidak hanya memberi pernyataan, Dedi Mulyadi juga langsung mentransfer dana sebesar Rp100 juta untuk memperbaiki fasilitas yang dirusak. Ia menegaskan bahwa kerusakan itu tidak seharusnya terjadi dan perlu dipulihkan sebagai bentuk tanggung jawab sosial (JawaPos).
Toleransi dan Hukum Jadi Sorotan
Kejadian ini menambah daftar kasus intoleransi yang terjadi di daerah, terutama terhadap minoritas agama. Meskipun Indonesia menjamin kebebasan beragama dalam UUD 1945, implementasinya di lapangan sering kali berbeda, tergantung dinamika sosial dan tekanan kelompok mayoritas.
Peristiwa di Cidahu memperlihatkan bagaimana ketidaktahuan hukum dan kurangnya edukasi publik bisa memicu tindakan yang melanggar konstitusi. Pembubaran paksa dan perusakan fasilitas adalah pelanggaran hukum yang bisa dikenai sanksi pidana, tak peduli motifnya.
Banyak pihak menyerukan agar aparat bertindak tegas agar insiden serupa tak terulang. Beberapa organisasi masyarakat sipil juga meminta pemerintah daerah lebih aktif memberi pemahaman tentang toleransi beragama kepada masyarakat.
Reaksi Netizen dan Media
Tagar seperti #Cidahu, #Toleransi, dan #DediMulyadi sempat trending di TikTok dan Twitter. Sebagian besar warganet mendukung langkah Dedi Mulyadi dan mengutuk aksi perusakan serta intoleransi terhadap minoritas agama.
“Salut untuk Kang Dedi, pemimpin dengan hati nurani,” tulis seorang netizen. Namun tak sedikit juga yang membela tindakan warga dengan alasan menjaga norma lokal, meski argumen itu banyak dikritik karena tidak sesuai hukum nasional.
Insiden retret Kristen Sukabumi dibubarkan dan perusakan fasilitas villa menjadi pelajaran penting soal bagaimana kebebasan beragama dan hukum harus ditegakkan di tengah masyarakat plural. Dedi Mulyadi menunjukkan bahwa respons tak harus selalu dengan emosi, tetapi bisa dengan pendekatan bijak dan solutif.
Terus ikuti perkembangan isu-isu toleransi, sosial, dan kemanusiaan hanya di mendalo.id — media independen yang berani menyuarakan kebenaran dengan nurani.